Kutipan: JIL: Bagaimana dengan barang dan tayangan erotis
yang kini dianggap sudah akrab dalam masyarakat kita?
Erotisme merupakan
sesuatu yang selalu mendampingi manusia, dari dulu hingga sekarang. Untuk
mewaspadai dampak dari erotisme itu dibuatlah pandangan tentang moral. Dan
moralitas berganti dari waktu ke waktu. Dulu pada zaman ibu saya, perempuan yang
pakai rok pendek itu dianggap cabul. Perempuan mesti pakai kain sarung panjang
yang menutupi hingga matakaki. Sekarang standar moralitas memang sudah berubah.
Memakai rok pendek bukan cabul lagi. Oleh karena itu, kalau kita mau menerapkan
suatu ukuran atau standar untuk semua, itu sudah merupakan pemaksaan. Sikap ini
harus ditolak. Sebab, ukuran satu pihak bisa tidak cocok untuk pihak yang lain.
Contoh lain adalah tradisi tari perut di Mesir yang tentu saja perutnya terbuka
lebar dan bahkan kelihatan puser. Mungkin bagi sebagian orang, tari perut itu
cabul. Tapi di Mesir, itu adalah tarian rakyat; tidak ada sangkut-pautnya dengan
kecabulan.
JIL: Jadi erotisme itu tidak mesti cabul, Gus?
Iya,
tidak bisa. Anda tahu, kitab Rawdlatul Mu‘aththar (The Perfumed Garden, Kebun
Wewangian) itu merupakan kitab bahasa Arab yang isinya tatacara bersetubuh
dengan 189 gaya, ha-ha-ha.. Kalau gitu, kitab itu cabul, dong? ha-ha-ha’
Kemudian juga ada kitab Kamasutra. Masak semua kitab-kitab itu dibilang cabul?
Kadang-kadang saya geli, mengapa kiai-kiai kita, kalau dengerin lagu-lagu Ummi
Kultsum’penyanyi legendaris Mesir’bisa sambil teriak-teriak ‘Allah’ Allah’’
Padahal isi lagunya kadang ngajak orang minum arak, ha-ha-ha.. Sangat saya
sayangkan, kita mudah sekali menuding dan memberi cap sana-sini; kitab ini cabul
dan tidak sesuai dengan Islam serta tidak boleh dibaca. Saya mau cerita. Dulu
saya pernah ribut di Dewan Pustaka dan Bahasa di Kuala Lumpur Malaysia. Waktu
itu saya diundang Prof. Husein Al-Attas untuk membicarakan tema Sastra Islam dan
Pornografi. Nah, saya ributnya dengan Siddik Baba. Dia sekarang menjadi pembantu
rektor di Universitas Islam Internasional Malaysia. Menurut dia, yang disebut
karya sastra Islam itu harus sesuai dengan syariat dan etika Islam. Karya-karya
yang menurutnya cabul bukanlah karya sastra Islam. Saya tidak setuju dengan
pendapat itu. Kemudian saya mengulas novel sastrawan Mesir, Naguib Mahfouz,
berjudul Zuqaq Midaq (Lorong Midaq), yang mengisahkah pola kehidupan di
gang-gang sempit di Mesir. Tokoh sentralnya adalah seorang pelacur. Dan pelacur
yang beragama Islam itu bisa dibaca pergulatan batinnya dari novel itu. Apakah
buku itu tidak bisa disebut sebuah karya Islam hanya karena ia menceritakan
kehidupan seorang pelacur? Ia jelas produk seorang sastrawan brilian yang
beragama Islam. Aneh kalau novel itu tidak diakui sebagai sastra Islam.
JIL: Gus, ada yang bilang kalau kelompok-kelompok penentang RUU APP ini
bukan kelompok Islam, karena katanya kelompok ini memiliki kitab suci yang
porno?
Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno di dunia
adalah Alqur’an, ha-ha-ha.. (tertawa terkekeh-kekeh).
JIL:
Maksudnya?
Loh, jelas kelihatan sekali. Di Alqur’an itu ada ayat tentang
menyusui anak dua tahun berturut-turut. Cari dalam InJIL kalau ada ayat seperti
itu. Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong ini. Banyaklah
contoh lain, ha-ha-ha’
Komentar:
Anggap Qur’an kitab suci paling
porno
Gus Dur menganggap Al-Qur’an kitab suci paling porno di dunia,
itu sangat keterlaluan. Tidak ada ‘udzur (alasan untuk berkilah) dalam masalah
yang sangat prinsip dalam Islam ini. Khusus mengenai pelecehan Gus Dur terhadap
Al-Qur’an ini bisa dibaca di bab tersendiri serta fatwa-fatwa para ulama
mengenai mengolok-olok Islam dalam buku
ini.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar