Berikut ini komentar penulis terhadap wawancara Gus Dur
(huruf-huruf tebal dari penulis) dengan cara mengutip wawancara, lalu penulis
komentari.
Kutipan:
JIL: Salah satu dasar munculnya perda-perda seperti itu (Perda
Tangerang tentang pelacuran, pen) adalah alasan otonomi daerah. Menurut Gus Dur
bagaimana?
Komentar:
Menolak yang berbau IslamGus Dur: Untuk Indonesia, daerah-daerah mestinya tidak bisa memakai dan menetapkan undang-udang secara sendiri-sendiri. Itu bisa kacau. JIL: Bagaimana kalau otonomi daerah juga hendak mengatur persoalan agama? Gus Dur: Otonomi daerah itu perlu dipahami sebagai kebebasan untuk melaksanakan aturan yang sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan undang-undang sendiri. Pengertian otonomi daerah itu bukan seperti yang terjadi sekarang ini; daerah mau merdeka di mana-mana dan dalam segala hal. Sikap itu tidak benar. JIL: Apakah beberapa daerah yang mayoritas non-muslim seperti NTT, Papua, Bali, dan lain-lain, dibolehkan menerapkan aturan agama mereka masing-masing dengan alasan otonomi daerah? Gus Dur: Iya nggak apa-apa. Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama.
Ketika aturan dibuat di daerah, dan itu sekiranya dianggap
berbau Islam, misalnya tentang melarang pelacuran, maka Gus Dur menolaknya,
bahkan menyebutkan akan bisa kacau. Lebih dari itu ketika ditanya tentang
otonomi daerah yang hendak mengatur persoalan agama, dan pertanyaan itu masih
difahami sebagai agama Islam (karena kaitannya dengan pertanyaan tentang Perda
mengenai larangan pelacuran) maka Gus Dur lebih tegas lagi menolaknya: ‘Sikap
itu tidak benar.’
Sebaliknya, ketika Gus Dur ditanya tentang daerah-daerah yang mayoritas non-muslim apakah dibolehkan menerapkan aturan agama mereka masing-masing (yang mayoritas itu, Bali Hindu, NTT Nasrani, Papua Nasrani, pen) dengan alasan otonomi daerah? Gus Dur buru-buru menjawab: ‘Iya nggak apa-apa. Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama.’ Tampaknya, Gus Dur sangat jeli dalam hal menolak Islam sejauh-jauhnya. Sampai-sampai yang merupakan kemunkaran/keburukan yang sudah dimengerti oleh semua manusia bahwa pelacuran itu tidak baik pun, karena yang lebih peduli bicara tentang keburukan itu adalah umat Islam, maka Gus Dur menolaknya untuk adanya aturan pelarangan pelacuran. Itu bukan karena Gus Dur semata-mata setuju terhadap pelacuran, sebagaimana dia juga mengemukakan bahwa ‘pelacuran memang dilarang agama’; tetapi ketidak setujuan adanya Perda (Peraturan Daerah) tentang pelarangan pelacuran, karena Gus Dur menganggapnya berkaitan dengan Islam. Pokoknya kalau berbau Islam, dan menurut endusan hidung Gus Dur, kira-kira akan masuk ke jalur aturan formal, maka dia tolak sekeras-kerasnya. Jadi Islam itu ibarat barang najis, jangan sampai menciprat ke aturan formal. Sebaliknya, apa saja yang bukan Islam, tampaknya dia dukung untuk menghadapi Islam. Makanya tanpa malu-malu, dalam wawancara itu, setelah menolak apa-apa yang dianggap berbau Islam, lalu dengan tegasnya mempersilakan daerah-daerah yang non Islam-nya mayoritas untuk menerapkan aturan agama mereka (Bali Hindu, NTT Nasrani, dan Papua Nasrani). Bahkan Gus Dur sebut ‘Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama.” Itu pendirian apa? Kalau Islam, dia tolak sekencang-kencangnya. Tetapi kalau non Islam, dia persilakan selebar-lebarnya, bahkan dianggapnya sebagai konsekuensi, dan kita tidak usah ribut-ribut. Menghadapi ungkapan Gus Dur itu, perlu ditanggapi dengan pergaulan pasaran, yang istilahnya : ‘Dia jual, maka kita beli’. Yaitu Gus Dur telah mempersilakan daerah-daerah yang mayoritas non Muslim untuk menerapkan aturan agama mereka, maka Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, (87% dari 220 jutaan penduduk), berarti dipersilakan untuk menerapkan Islam di Indonesia ini. Dan perlu kita pakai ucapan Gus Dur yang untuk mayoritas non Islam itu, di Indonesia ini untuk mayoritas Islam, yaitu ucapan Gus Dur: ‘Itu konsekuensinya kan? Makanya, kita tidak usah ribut-ribut soal perda dan aturan yang berasal dari satu agama.” Gus Dur biar jadi juru bicara non Muslim, nanti ucapannya tinggal kita balikkan. Dia menuntut ‘hak’ non Muslim, kita menuntut hak Muslimin. Sayangnya, Gus Dur bukan hanya menuntut ‘hak’ non Muslim, tetapi juga menolak adanya kemungkinan hak Muslimin akan diberikan pada mustahiqnya (yang berhak). Sehingga sebagai pemain, Gus Dur bukan sekadar jadi pembela non Muslim (padahal mengaku Islam) tetapi juga menghalangi akan terwujudnya hak-hak Muslimin. Aneh! |
Jumat, 17 Februari 2012
Al-Qur'an Dihina Gus Dur page : 8
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar