DUA
Berpikir secara Mendalam
Banyak yang beranggapan bahwa untuk "berpikir
secara mendalam", seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak
tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian dan
segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap "berpikir secara
mendalam" sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan
bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan "filosof".
Padahal, sebagaimana telah disebutkan dalam
pendahuluan, Allah mewajibkan manusia untuk berpikir secara mendalam atau
merenung. Allah berfirman bahwa Al-Qur'an diturunkan kepada manusia untuk
dipikirkan atau direnungkan: "Ini adalah sebuah kitab
yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan
(merenungkan) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran" (QS. Shaad, 38: 29). Yang ditekankan
di sini adalah bahwa setiap orang hendaknya berusaha secara ikhlas sekuat tenaga
dalam meningkatkan kemampuan dan kedalaman berpikir.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak mau berusaha
untuk berpikir mendalam akan terus-menerus hidup dalam kelalaian yang sangat.
Kata kelalaian mengandung arti "ketidakpedulian (tetapi bukan melupakan),
meninggalkan, dalam kekeliruan, tidak menghiraukan, dalam kecerobohan".
Kelalaian manusia yang tidak berpikir adalah akibat melupakan atau secara
sengaja tidak menghiraukan tujuan penciptaan diri mereka serta kebenaran ajaran
agama. Ini adalah jalan hidup yang sangat berbahaya yang dapat menghantarkan
seseorang ke neraka. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah memperingatkan manusia
agar tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang lalai:
"Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu
dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di
waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (QS.
Al-A’raaf, 7: 205)
"Dan berilah mereka peringatan tentang hari
penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputus. Dan mereka dalam
kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman." (QS. Maryam, 19: 39)
Dalam Al-Qur'an, Allah menyebutkan tentang mereka
yang berpikir secara sadar, kemudian merenung dan pada akhirnya sampai kepada
kebenaran yang menjadikan mereka takut kepada Allah. Sebaliknya, Allah juga
menyatakan bahwa orang-orang yang mengikuti para pendahulu mereka secara taklid
buta tanpa berpikir, ataupun hanya sekedar mengikuti kebiasaan yang ada, berada
dalam kekeliruan. Ketika ditanya, para pengekor yang tidak mau berpikir tersebut
akan menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan agama dan beriman
kepada Allah. Tetapi karena tidak berpikir, mereka sekedar melakukan ibadah dan
aktifitas hidup tanpa disertai rasa takut kepada Allah. Mentalitas golongan ini
sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur'an:
Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan
semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah."
Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?"
Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang
tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah."
Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?"
Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada
kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat
dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah."
Katakanlah: "(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir)?"
"Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada
mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta." (QS.
Al-Mu’minuun, 23: 84-90)
Berpikir dapat membebaskan seseorang
daribelenggu "sihir"
Dalam ayat di atas, Allah bertanya kepada manusia,
"…maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir)?. Kata disihir atau tersihir di
sini mempunyai makna kelumpuhan mental atau akal yang menguasai manusia secara
menyeluruh. Akal yang tidak digunakan untuk berpikir berarti bahwa akal tersebut
telah lumpuh, penglihatan menjadi kabur, berperilaku sebagaimana seseorang yang
tidak melihat kenyataan di depan matanya, sarana yang dimiliki untuk membedakan
yang benar dari yang salah menjadi lemah. Ia tidak mampu memahami sebuah
kebenaran yang sederhana sekalipun. Ia tidak dapat membangkitkan kesadarannya
untuk memahami peristiwa-peristiwa luar biasa yang terjadi di sekitarnya. Ia
tidak mampu melihat bagian-bagian rumit dari peristiwa-peristiwa yang ada. Apa
yang menyebabkan masyarakat secara keseluruhan tenggelam dalam kehidupan yang
melalaikan selama ribuan tahun serta menjauhkan diri dari berpikir sehingga
seolah-olah telah menjadi sebuah tradisi adalah kelumpuhan akal ini.
Pengaruh sihir yang bersifat kolektif tersebut
dapat dikiaskan sebagaimana berikut:
Dibawah permukaan bumi terdapat sebuah lapisan
mendidih yang dinamakan magma, padahal kerak bumi sangatlah tipis. Tebal lapisan
kerak bumi dibandingkan keseluruhan bumi adalah sebagaimana tebal kulit apel
dibandingkan buah apel itu sendiri. Ini berarti bahwa magma yang membara
tersebut demikian dekatnya dengan kita, dibawah telapak kaki kita!
Setiap orang mengetahui bahwa di bawah permukaan
bumi ada lapisan yang mendidih dengan suhu yang sangat panas, tetapi manusia
tidak terlalu memikirkannya. Hal ini dikarenakan para orang tua, sanak saudara,
kerabat, teman, tetangga, penulis artikel di koran yang mereka baca, produser
acara-acara TV dan professor mereka di universitas tidak juga
memikirkannya.
Ijinkanlah kami mengajak anda berpikir sebentar
tentang masalah ini. Anggaplah seseorang yang telah kehilangan ingatan berusaha
untuk mengenal sekelilingnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
setiap orang di sekitarnya. Pertama-tama ia menanyakan tempat dimana ia berada.
Apakah kira-kira yang akan muncul di benaknya apabila diberitahukan bahwa di
bawah tempat dia berdiri terdapat sebuah bola api mendidih yang dapat memancar
dan berhamburan dari permukaan bumi pada saat terjadi gempa yang hebat atau
gunung meletus? Mari kita berbicara lebih jauh dan anggaplah orang ini telah
diberitahu bahwa bumi tempat ia berada hanyalah sebuah planet kecil yang
mengapung dalam ruang yang sangat luas, gelap dan hampa yang disebut ruang
angkasa. Ruang angkasa ini memiliki potensi bahaya yang lebih besar dibandingkan
materi bumi tersebut, misalnya: meteor-meteor dengan berat berton-ton yang
bergerak dengan leluasa di dalamnya. Bukan tidak mungkin meteor-meteor tersebut
bergerak ke arah bumi dan kemudian menabraknya.
Mustahil orang ini mampu untuk tidak berpikir
sedetikpun ketika berada di tempat yang penuh dengan bahaya yang setiap saat
mengancam jiwanya. Ia pun akan berpikir pula bagaimana mungkin manusia dapat
hidup dalam sebuah planet yang sebenarnya senantiasa berada di ujung tanduk,
sangat rapuh dan membahayakan nyawanya. Ia lalu sadar bahwa kondisi ini hanya
terjadi karena adanya sebuah sistim yang sempurna tanpa cacat sedikitpun.
Kendatipun bumi, tempat ia tinggal, memiliki bahaya yang luar biasa besarnya,
namun padanya terdapat sistim keseimbangan yang sangat akurat yang mampu
mencegah bahaya tersebut agar tidak menimpa manusia. Seseorang yang menyadari
hal ini, memahami bahwa bumi dan segala makhluk di atasnya dapat melangsungkan
kehidupan dengan selamat hanya dengan kehendak Allah, disebabkan oleh adanya
keseimbangan alam yang sempurna dan tanpa cacat yang diciptakan-Nya.
Contoh di atas hanyalah satu diantara jutaan, atau
bahkan trilyunan contoh-contoh yang hendaknya direnungkan oleh manusia. Di bawah
ini satu lagi contoh yang mudah-mudahan membantu dalam memahami bagaimana
"kondisi lalai" dapat mempengaruhi sarana berpikir manusia dan melumpuhkan
kemampuan akalnya.
Manusia mengetahui bahwa kehidupan di dunia berlalu
dan berakhir sangat cepat. Anehnya, masih saja mereka bertingkah laku
seolah-olah mereka tidak akan pernah meninggalkan dunia. Mereka melakukan
pekerjaan seakan-akan di dunia tidak ada kematian. Sungguh, ini adalah sebuah
bentuk sihir atau mantra yang terwariskan secara turun-temurun. Keadaan ini
berpengaruh sedemikian besarnya sehingga ketika ada yang berbicara tentang
kematian, orang-orang dengan segera menghentikan topik tersebut karena takut
kehilangan sihir yang selama ini membelenggu mereka dan tidak berani menghadapi
kenyataan tersebut. Orang yang mengabiskan seluruh hidupnya untuk membeli rumah
yang bagus, penginapan musim panas, mobil dan kemudian menyekolahkan anak-anak
mereka ke sekolah yang bagus, tidak ingin berpikir bahwa pada suatu hari mereka
akan mati dan tidak akan dapat membawa mobil, rumah, ataupun anak-anak beserta
mereka. Akibatnya, daripada melakukan sesuatu untuk kehidupan yang hakiki
setelah mati, mereka memilih untuk tidak berpikir tentang kematian.
Namun, cepat atau lambat setiap manusia pasti akan
menemui ajalnya. Setelah itu, percaya atau tidak, setiap orang akan memulai
sebuah kehidupan yang kekal. Apakah kehidupannya yang abadi tersebut berlangsung
di surga atau di neraka, tergantung dari amal perbuatan selama hidupnya yang
singkat di dunia. Karena hal ini adalah sebuah kebenaran yang pasti akan
terjadi, maka satu-satunya alasan mengapa manusia bertingkah laku seolah-olah
mati itu tidak ada adalah sihir yang telah menutup atau membelenggu mereka
akibat tidak berpikir dan merenung.
Orang-orang yang tidak dapat membebaskan diri
mereka dari sihir dengan cara berpikir, yang mengakibatkan mereka berada dalam
kelalaian, akan melihat kebenaran dengan mata kepala mereka sendiri setelah
mereka mati, sebagaimana yang diberitakan Allah kepada kita dalam Al-Qur'an
:
"Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai
dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu,
maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam." (QS. Qaaf, 50: 22)
Dalam ayat di atas penglihatan seseorang menjadi
kabur akibat tidak mau berpikir, akan tetapi penglihatannya menjadi tajam
setelah ia dibangkitkan dari alam kubur dan ketika mempertanggung jawabkan
segala amal perbuatannya di akhirat.
Perlu digaris bawahi bahwa manusia mungkin saja
membiarkan dirinya secara sengaja untuk dibelenggu oleh sihir tersebut. Mereka
beranggapan bahwa dengan melakukan hal ini mereka akan hidup dengan tentram.
Syukurlah bahwa ternyata sangat mudah bagi seseorang untuk merubah kondisi yang
demikian serta melenyapkan kelumpuhan mental atau akalnya, sehingga ia dapat
hidup dalam kesadaran untuk mengetahui kenyataan. Allah telah memberikan jalan
keluar kepada manusia; manusia yang merenung dan berpikir akan mampu melepaskan
diri dari belenggu sihir pada saat mereka masih di dunia. Selanjutnya, ia akan
memahami tujuan dan makna yang hakiki dari segala peristiwa yang ada. Ia pun
akan mampu memahami kebijaksanaan dari apapun yang Allah ciptakan setiap
saat.
Seseorang dapat berpikir kapanpun dan di
manapun
Berpikir tidaklah memerlukan waktu, tempat ataupun
kondisi khusus. Seseorang dapat berpikir sambil berjalan di jalan raya, ketika
pergi ke kantor, mengemudi mobil, bekerja di depan komputer, menghadiri
pertemuan dengan rekan-rekan, melihat TV ataupun ketika sedang makan
siang.
Misalnya: di saat sedang mengemudi mobil, seseorang
melihat ratusan orang berada di luar. Ketika menyaksikan mereka, ia terdorong
untuk berpikir tentang berbagai macam hal. Dalam benaknya tergambar penampilan
fisik dari ratusan orang yang sedang disaksikannya yang sama sekali berbeda satu
sama lain. Tak satupun diantara mereka yang mirip dengan yang lain. Sungguh
menakjubkan: kendatipun orang-orang ini memiliki anggota tubuh yang sama,
misalnya sama-sama mempunyai mata, alis, bulu mata, tangan, lengan, kaki, mulut
dan hidung; tetapi mereka terlihat sangat berbeda satu sama lain. Ketika
berpikir sedikit mendalam, ia akan teringat bahwa:
Allah telah menciptakan bilyunan manusia selama
ribuan tahun, semuanya berbeda satu dengan yang lain. Ini adalah bukti nyata
tentang ke Maha Perkasaan dan ke Maha Besaran Allah.
Menyaksikan manusia yang sedang lalu lalang dan
bergegas menuju tempat tujuan mereka masing-masing, dapat memunculkan beragam
pikiran di benak seseorang. Ketika pertama kali memandang, muncul di pikirannya:
manusia yang jumlahnya banyak ini terdiri atas individu-individu yang khas dan
unik. Tiap individu memiliki dunia, keinginan, rencana, cara hidup, hal-hal yang
membuatnya bahagia atau sedih, serta perasaannya sendiri. Secara umum, setiap
manusia dilahirkan, tumbuh besar dan dewasa, mendapatkan pendidikan, mencari
pekerjaan, bekerja, menikah, mempunyai anak, menyekolahkan dan menikahkan
anak-anaknya, menjadi tua, menjadi nenek atau kakek dan pada akhirnya meninggal
dunia. Dilihat dari sudut pandang ini, ternyata perjalanan hidup semua manusia
tidaklah jauh berbeda; tidak terlalu penting apakah ia hidup di perkampungan di
kota Istanbul atau di kota besar seperti Mexico, tidak ada bedanya sedikitpun.
Semua orang suatu saat pasti akan mati, seratus tahun lagi mungkin tak satupun
dari orang-orang tersebut yang akan masih hidup. Menyadari kenyataan ini,
seseorang akan berpikir dan bertanya kepada dirinya sendiri: "Jika kita semua
suatu hari akan mati, lalu apakah gerangan yang menyebabkan manusia bertingkah
laku seakan-akan mereka tak akan pernah meninggalkan dunia ini? Seseorang yang
akan mati sudah sepatutnya beramal secara sungguh-sungguh untuk kehidupannya
setelah mati; tetapi mengapa hampir semua manusia berkelakuan seolah-olah hidup
mereka di dunia tak akan pernah berakhir?"
Orang yang memikirkan hal-hal semacam ini lah yang
dinamakan orang yang berpikir dan mencapai kesimpulan yang sangat bermakna dari
apa yang ia pikirkan.
Sebagian besar manusia tidak berpikir tentang
masalah kematian dan apa yang terjadi setelahnya. Ketika mendadak
ditanya,"Apakah yang sedang anda pikirkan saat ini?", maka akan terlihat bahwa
mereka sedang memikirkan segala sesuatu yang sebenarnya tidak perlu untuk
dipikirkan, sehingga tidak akan banyak manfaatnya bagi mereka. Namun, seseorang
bisa juga "berpikir" hal-hal yang "bermakna", "penuh hikmah" dan "penting"
setiap saat semenjak bangun tidur hingga kembali ke tempat tidur, dan mengambil
pelajaran ataupun kesimpulan dari apa yang dipikirkannya.
Dalam Al-Qur'an, Allah menyatakan bahwa orang-orang
yang beriman memikirkan dan merenungkan secara mendalam segala kejadian yang ada
dan mengambil pelajaran yang berguna dari apa yang mereka pikirkan.
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Aali
‘Imraan, 3: 190-191).
Ayat di atas menyatakan bahwa oleh karena
orang-orang yang beriman adalah mereka yang berpikir, maka mereka mampu melihat
hal-hal yang menakjubkan dari ciptaan Allah dan mengagungkan Kebesaran, Ilmu
serta Kebijaksanaan Allah.
Berpikir dengan ikhlas sambil menghadapkan diri
kepada Allah
Agar sebuah perenungan menghasilkan manfaat dan
seterusnya menghantarkan kepada sebuah kesimpulan yang benar, maka seseorang
harus berpikir positif. Misalnya: seseorang melihat orang lain dengan penampilan
fisik yang lebih baik dari dirinya. Ia lalu merasa dirinya rendah karena
kekurangan yang ada pada fisiknya dibandingkan dengan orang tersebut yang tampak
lebih rupawan. Atau ia merasa iri terhadap orang tersebut. Ini adalah pikiran
yang tidak dikehendaki Allah. Jika ridha Allah yang dicari, maka seharusnya ia
menganggap bagusnya bentuk rupa orang yang ia lihat sebagai wujud dari ciptaan
Allah yang sempurna. Dengan melihat orang yang rupawan sebagai sebuah keindahan
yang Allah ciptakan akan memberikannya kepuasan. Ia berdoa kepada Allah agar
menambah keindahan orang tersebut di akhirat. Sedang untuk dirinya sendiri, ia
juga meminta kepada Allah agar dikaruniai keindahan yang hakiki dan abadi di
akhirat kelak. Hal serupa seringkali dialami oleh seorang hamba yang sedang
diuji oleh Allah untuk mengetahui apakah dalam ujian tersebut ia menunjukkan
perilaku serta pola pikir yang baik yang diridhai Allah atau
sebaliknya.
Keberhasilan dalam menempuh ujian tersebut, yakni
dalam melakukan perenungan ataupun proses berpikir yang mendatangkan kebahagiaan
di akhirat, masih ditentukan oleh kemauannya dalam mengambil pelajaran atau
peringatan dari apa yang ia renungkan. Karena itu, sangatlah ditekankan disini
bahwa seseorang hendaknya selalu berpikir secara ikhlas sambil menghadapkan diri
kepada Allah. Allah berfirman dalam Al-Qur'an :
"Dia lah yang memperlihatkan kepadamu
tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan untukmu rezki dari langit. Dan
tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah)."
(QS. Ghaafir, 40: 13).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar