EMPAT
Faktor-faktor Apakah yang Menyebabkan Manusia Tidak Mau
Berpikir?
Ada banyak sebab yang menghalangi manusia untuk berpikir. Satu,
atau beberapa, atau semua sebab ini dapat mencegah seseorang untuk berpikir dan
memahami kebenaran. Oleh karena itu, perlu kiranya setiap orang mencari
faktor-faktor yang menyebabkan mereka berada dalam kondisi yang kurang baik
tersebut, dan berusaha melepaskan diri darinya. Jika tidak dilakukan, ia tidak
akan mampu mengetahui realitas yang sebenarnya dari kehidupan dunia yang pada
akhirnya menghantarkannya kepada kerugian besar di akhirat.
Dalam Al-Qur'an Allah memberitakan keadaan orang-orang yang
terbiasa berpikir dangkal:
"Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan
dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai Dan mengapa mereka
tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit
dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar
dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia
benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya". (QS. Ar-Ruum, 30: 7-8)
Kelumpuhan mental akibat mengikuti kebanyakan
orang
Satu sebab yang membuat kebanyakan orang tersesat adalah
keyakinannya bahwa apa yang dilakukan "sebagian besar" manusia adalah benar.
Manusia biasanya lebih cenderung menerima apa yang diajarkan oleh orang-orang
disekitarnya, daripada berpikir untuk mencari sendiri kebenaran dari apa yang
diajarkan tersebut. Ia melihat bahwa hal-hal yang pada mulanya kelihatannya
janggal seringkali dianggap biasa oleh kebanyakan orang, atau bahkan tidak
terlalu dipedulikan. Maka setelah beberapa lama, ia kemudian menjadi terbiasa
juga dengan hal-hal tersebut.
Sebagai contoh: sebagian besar dari teman-teman di sekitarnya tidak
berpikir bahwa suatu hari mereka akan mati. Mereka bahkan tidak membiarkan satu
orang pun berbicara mengenai masalah ini untuk mengingatkan tentang kematian.
Seseorang yang berada dalam lingkungan yang demikian akan berkata,"Karena semua
orang seperti itu, maka tidak ada salahnya jika saya berperilaku sama seperti
mereka." Lalu orang tersebut menjalani hidupnya tanpa mengingat kematian sama
sekali. Sebaliknya, jika orang-orang di sekitarnya bertingkah laku sebagai orang
yang takut kepada Allah dan beramal secara sungguh-sungguh untuk hari akhir,
sangat mungkin orang ini akan juga berubah sikap.
Sebagai contoh tambahan: ratusan berita tentang bencana alam,
ketidakadilan, ketidakjujuran, kedzaliman, bunuh diri, pembunuhan, pencurian,
penggelapan uang diberitakan di TV dan majalah-majalah. Ribuan orang yang
membutuhkan bantuan disebutkan setiap hari. Tetapi banyak dari mereka yang
membaca berita-berita tersebut, membolak-balik halaman surat kabar atau menekan
tombol TV dengan tenangnya. Pada umumnya, manusia tidak memikirkan mengapa
berita-berita semacam ini demikian banyak; apa yang harus dilakukan dan
persiapan-persiapan apa yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya peristiwa
yang sedemikian mengenaskan; serta apa yang dapat mereka lakukan untuk mengatasi
masalah tersebut. Kebanyakan manusia menuding orang atau pihak lain bertanggung
jawab atas kejadian-kejadian tersebut. Dengan seenaknya mereka melontarkan
kata-kata seperti "apakah menjadi tanggung jawab saya untuk menyelamatkan dunia
ini?"
Kemalasan mental
Kemalasan adalah sebuah faktor yang menghalangi kebanyakan manusia
dari berpikir.
Akibat kemalasan mental, manusia melakukan segala sesuatu
sebagaimana yang pernah mereka saksikan dan terbiasa mereka lakukan. Untuk
memberikan sebuah contoh dari kehidupan sehari-hari: cara yang digunakan para
ibu rumah tangga dalam membersihkan rumah adalah sebagaimana yang telah mereka
lihat dari ibu-ibu mereka dahulu. Pada umumnya tidak ada yang berpikir,
"Bagaimana membersihkan rumah dengan cara yang lebih praktis dan hasil yang
lebih bersih" dengan kata lain, berusaha menemukan cara baru. Demikian juga,
ketika ada yang perlu diperbaiki, manusia biasanya menggunakan cara yang telah
diajarkan ketika mereka masih kanak-kanak. Umumnya mereka enggan berusaha
menemukan cara baru yang mungkin lebih praktis dan berdaya guna. Cara berbicara
orang-orang ini juga sama. Cara bagaimana seorang akuntan berbicara, misalnya,
sama seperti akuntan-akuntan yang lain yang pernah ia lihat selama hidupnya.
Para dokter, banker, penjual…..dan orang-orang dari latar belakang apapun
mempunyai cara bicara yang khas. Mereka tidak berusaha mencari yang paling
tepat, paling baik dan paling menguntungkan dengan berpikir. Mereka sekedar
meniru dari apa yang telah mereka lihat.
Cara pemecahan masalah yang dipakai juga menunjukkan kemalasan
dalam berpikir. Sebagai contoh: dalam menangani masalah sampah, seorang manajer
sebuah gedung menerapkan metode yang sama sebagaimana yang telah dipakai oleh
manajer sebelumnya. Atau seorang walikota berusaha mencari jalan keluar tentang
masalah jalan raya dengan meniru cara yang digunakan oleh walikota-walikota
sebelumnya. Dalam banyak hal, ia tidak dapat mencari pemecahan yang baru
dikarenakan tidak mau berpikir.
Sudah pasti, contoh-contoh di atas dapat berakibat fatal bagi
kehidupan manusia jika tidak ditangani secara benar. Padahal masih banyak
masalah yang lebih penting dari itu semua. Bahkan jika tidak dipikirkan, akan
mendatangkan kerugian yang besar dan kekal bagi manusia. Penyebab kerugian
tersebut adalah kegagalan seseorang dalam berpikir tentang tujuan keberadaannya
di dunia; ketidakpedulian akan kematian sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat
dihindari; dan kepastian akan hari penghisaban setelah mati. Dalam Al-Qur'an,
Allah mengajak manusia untuk merenungkan fakta yang sangat penting ini:
"Mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, dan
lenyaplah dari mereka apa yang selalu mereka ada-adakan. Pasti mereka itu di
akhirat menjadi orang-orang yang paling merugi. Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan
mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.
Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin),
seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar.
Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu
mengambil pelajaran (daripada perbandingan itu)?" (QS. Huud, 11: 21-24)
"Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang
tidak dapat menciptakan (apa-apa) ? Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran." (QS. An-Nahl, 16: 17)
Anggapan bahwa berpikir secara mendalam tidaklah
baik
Ada sebuah kepercayaan yang kuat dalam masyarakat bahwa berpikir
secara mendalam tidaklah baik. Mereka saling mengingatkan satu sama lain dengan
mengatakan "jangan terlalu banyak berpikir, anda akan kehilangan akal". Sungguh
ini tidak lain hanyalah omong kosong yang didengung-dengungkan oleh mereka yang
jauh dari agama. Yang seharusnya dihindari bukanlah tidak berpikir, akan tetapi
memikirkan keburukan; atau terjerumus dalam keragu-raguan, khayalan-khayalan
atau angan-angan kosong.
Mereka yang tidak memiliki keimanan yang kuat kepada Allah dan hari
akhir, tidak berpikir mengenai hal-hal yang baik dan bermanfaat, akan tetapi
hal-hal yang negatif. Sehingga hasil yang tidak bermanfaatlah yang pada akhirnya
muncul dari perenungan mereka. Mereka berpikir, misalnya, bahwa hidup di dunia
adalah sementara, dan bahwa mereka suatu hari akan mati, akan tetapi hal ini
menjadikan mereka putus harapan. Sebab secara sadar mereka tahu bahwa menjalani
kehidupan tanpa mengikuti perintah Allah hanya akan menyengsarakan mereka di
akhirat. Sebagian dari mereka bersikap pesimistik karena berkeyakinan bahwa
mereka akan lenyap sama sekali setelah mati.
Orang yang bijak, yang beriman kepada Allah dan hari kemudian
memiliki pola pikir yang sama sekali berbeda ketika mengetahui bahwa hidup di
dunia hanyalah sementara. Pertama-tama, kesadarannya akan kehidupan dunia yang
sementara mendorongnya untuk memulai sebuah perjuangan atau kerja keras yang
sungguh-sungguh untuk kehidupannya yang hakiki dan abadi di akhirat. Karena tahu
bahwa hidup ini cepat atau lambat akan berakhir, ia tidak terlenakan oleh ambisi
syahwat dan kepentingan dunia. Ia terlihat sangat tenang. Tak satupun peristiwa
yang menimpanya dalam kehidupan yang sementara ini membuatnya marah. Dengan
ceria ia selalu berpikir tentang harapan untuk meraih kehidupan yang abadi dan
menyenangkan di akhirat. Ia juga sangat menikmati keberkahan dan keindahan
dunia. Allah telah menciptakan kehidupan dunia dengan tidak sempurna dan penuh
kekurangan sebagai ujian bagi manusia. Ia berpikir bahwa jika dalam kehidupan di
dunia yang tidak sempurna dan cacat ini terdapat demikian banyak kenikmatan
untuk manusia, maka sudah pasti kehidupan surga amat tak terbayangkan lagi
keindahannya. Ia mendambakan untuk melihat keindahan yang hakiki di akhirat. Dan
ia memahami semua hal tersebut setelah berpikir secara mendalam.
Berlepas diri dari tanggung jawab melaksanakan apa
yang diperoleh dari berpikir
Kebanyakan manusia beranggapan bahwa mereka dapat mengelak dari
berbagai macam tanggung jawab dengan menghindarkan diri dari berpikir, dan
mengalihkan akalnya untuk memikirkan hal-hal yang lain. Dengan melakukan yang
demikian di dunia, mereka berhasil melepaskan diri mereka sendiri dari beragam
masalah. Satu diantara banyak hal yang sangat menipu manusia adalah anggapan
bahwa mereka akan dapat membebaskan diri dari kewajiban mereka kepada Allah
dengan cara tidak berpikir. Inilah sebab utama yang membuat mereka tidak
berpikir tentang kematian dan kehidupan setelahnya. Jika seseorang berpikir
bahwa ia suatu hari akan mati dan selalu ingat bahwa ada kehidupan abadi setelah
mati, maka ia wajib bekerja keras untuk kehidupannya setelah mati. Tetapi ia
telah menipu dirinya sendiri ketika berkeyakinan bahwa kewajiban tersebut akan
lepas dengan sendirinya ketika ia tidak berpikir tentang keberadaan akhirat. Ini
adalah kekeliruan yang sangat besar, dan jika seseorang tidak mendapatkan
kebenaran di dunia dengan berpikir, maka setelah kematiannya ia baru akan
menyadari bahwa tidak ada jalan keluar baginya untuk meloloskan diri.
"Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah
yang kamu selalu lari daripadanya. Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari
terlaksananya ancaman." (QS. Qaaf, 50: 19-20)
Tidak berpikir akibat terlenakan oleh kehidupan
sehari-hari
Kebanyakan manusia menghabiskan keseluruhan hidup mereka dalam
"ketergesa-gesaan". Ketika mencapai umur tertentu, mereka harus bekerja dan
menanggung hidup diri mereka dan keluarga mereka. Mereka menganggap hal ini
sebagai sebuah "perjuangan hidup". Dan, karena harus bekerja keras, jungkir
balik dalam pekerjaan, mereka mengatakan tidak mempunyai waktu lagi untuk
hal-hal yang lain, termasuk berpikir. Akhirnya mereka pun terbawa larut oleh
arus ke arah mana saja kehidupan mereka ini membawa mereka. Dengan demikian,
mereka menjadi tidak peka lagi dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di
sekitar.
Namun, tidak sepatutnya manusia memiliki tujuan hidup hanya sekedar
menghabiskan waktu; bergegas pergi dari satu tempat ke tempat yang lain. Yang
terpenting di sini adalah kemampuan melihat kenyataan sesungguhnya dari
kehidupan dunia ini untuk kemudian menempuh jalan hidup yang sebenarnya. Tidak
ada satu orang pun yang mempunyai tujuan akhir mendapatkan uang, bekerja,
belajar di universitas atau membeli rumah. Sudah barang tentu manusia perlu
melakukan ini semua dalam hidupnya, namun yang mesti senantiasa ada dalam
benaknya ketika melakukan segala hal tersebut yaitu kesadaran akan keberadaan
manusia di dunia sebagai hamba Allah, untuk bekerja demi mencari ridha, kasih
sayang dan surga Allah. Segala perbuatan dan pekerjaan selain untuk tujuan
tersebut hanyalah berfungsi sebagai "sarana" untuk membantu manusia dalam meraih
tujuan yang sebenarnya. Menempatkan sarana sebagai tujuan utama adalah sebuah
kekeliruan yang amat besar yang didengung-dengungkan syaitan kepada manusia.
Seseorang yang hidup tanpa berpikir akan mudah sekali menjadikan
sarana tersebut sebagai tujuan. Kita dapat menyebutkan contoh-contoh lain yang
serupa dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: tidak dapat diragukan bahwa
bekerja dan menghasilkan berbagai hal yang bermanfaat untuk masyarakat adalah
perbuatan baik. Seseorang yang beriman kepada Allah akan melakukan pekerjaan
tersebut dengan bersemangat sambil mengharapkan balasan Allah di dunia dan di
akhirat. Sebaliknya jika seseorang melakukan hal yang sama tanpa mengingat Allah
dan hanya mengharapkan imbalan dunia, seperti mendapatkan jabatan tinggi agar
dihormati oleh masyarakat, maka ia telah melakukan kekeliruan. Ia telah
melakukan sesuatu yang sebenarnya dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai
tujuannya, yakni mencari ridha Allah. Ketika menemukan realitas yang sebenarnya
di akhirat, ia merasa sangat menyesal karena telah melakukan hal yang demikian.
Dalam sebuah ayat, Allah merujuk ke mereka yang terpedaya oleh kehidupan dunia
sebagaimana berikut:
"(Keadaan kamu hai orang-orang munafik dan musyrikin) adalah
seperti keadaan orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan
lebih banyak harta dan anak-anaknya dari kamu. Maka mereka telah menikmati
bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagian kamu sebagaimana orang-orang yang
sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil)
sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu amalannya menjadi sia-sia di
dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi." (QS.
At-Taubah, 9: 69).
Melihat segala sesuatu dengan "penglihatan yang
biasa", sekedar melihat tanpa perenungan
Ketika melihat beberapa hal yang baru untuk pertama kalinya,
manusia mungkin menemukan berbagai hal yang luar biasa yang mendorong mereka
berkeinginan untuk mengetahui lebih jauh apa yang sedang mereka lihat tersebut.
Namun setelah sekian lama, mereka mulai terbiasa dengan hal-hal ini dan tidak
lagi merasa takjub. Terutama sebuah benda ataupun kejadian yang mereka temui
setiap hari sudah menjadi sesuatu yang "biasa" saja bagi mereka.
Sebagai contoh, beberapa orang calon dokter merasakan adanya
pengaruh terhadap dirinya ketika pertama kali melihat jenazah. Saat pertama kali
satu di antara para pasien mereka meninggal dapat membuat mereka termenung lama.
Padahal beberapa menit yang lalu jasad tak bernyawa ini masih hidup, tertawa,
memikirkan rencana-rencana, berbicara, menikmati hidup dengan wajah yang ceria.
Orang yang tadinya hidup serta melihat dengan mata yang ceria, berbicara tentang
rencana masa depan, menikmati sarapan di pagi hari mendadak terbaring tanpa ruh.
Ketika pertama kali mayat tersebut diletakkan di depan para dokter tersebut
untuk diautopsi, mereka berpikir segala hal yang mereka lihat padanya. Tubuhnya
membusuk demikian cepat, bau yang menusuk hidung pun tercium, rambut yang
tadinya terlihat indah menjadi demikian kusut hingga tak seorang pun sudi
menyentuhnya. Kesemua ini termasuk apa yang ada di benak mereka. Lalu mereka pun
berpikir: bahan pembentuk semua manusia adalah sama dan jasad mereka akan
mengalami akhir yang serupa, yakni mereka pun akan menjadi seperti mayat yang
mereka saksikan.
Namun, setelah berulang-ulang melihat beberapa mayat dan mendapati
beberapa pasiennya meninggal dunia, orang-orang ini pada akhirnya menjadi
terbiasa. Mereka lalu memperlakukan mayat-mayat, atau bahkan para pasien mereka
sebagaimana barang atau benda.
Sungguh, ini tidak berlaku terhadap dokter saja. Terhadap
kebanyakan manusia, hal yang sama dapat terjadi dalam kehidupan mereka. Sebagai
contoh, ketika seseorang yang biasa hidup dalam kesusahan dikaruniai kehidupan
yang serba berkecukupan, ia akan sadar bahwa semua yang ia miliki adalah sebuah
kenikmatan untuknya. Tempat tidurnya menjadi lebih nyaman, tempat tinggalnya
menghadap ke arah pemandangan yang indah, ia dapat membeli apapun yang
diinginkannya, menghangatkan rumahnya di musim dingin sekehendaknya, dengan
mudahnya pergi dari satu tempat ke tempat yang lain dengan kendaraan, dan banyak
hal lain yang kesemuanya adalah kenikmatan baginya. Ketika membandingkan dengan
keadaan yang sebelumnya, ia akan merasa bersyukur dan bahagia. Akan tetapi, bagi
orang yang telah memiliki kesemua ini sejak lahir mungkin tak pernah terlalu
memikirkan tentang nilai dari semua kenikmatan tersebut. Jadi, penilaian
terhadap segala kenikmatan ini tidak mungkin dilakukannya tanpa ia mau berpikir
secara mendalam.
Lain halnya bagi seseorang yang mau merenung, tidaklah menjadi
persoalan apakah ia mendapatkan segala kenikmatan tersebut sejak lahir atau di
kemudian hari. Sebab ia tidak pernah melihat apa yang dimilikinya sebagai
sesuatu yang biasa-biasa saja. Ia paham bahwa segala yang ia punyai adalah
ciptaan Allah. Sekehendak-Nya, Allah berkuasa mengambil semua kenikmatan yang
ada darinya. Sebagai contoh, orang-orang mukmin ketika menaiki hewan tunggangan,
yakni kendaraan, mereka akan berdoa:
"Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat
nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan supaya kamu
mengatakan:"Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal
kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali
kepada Tuhan kami." (QS. Az-Zukhruf, 43: 13-14)
Di ayat lain, dikisahkan bahwa ketika orang-orang yang beriman
memasuki kebun-kebun atau taman-taman mereka, mereka mengingat Allah seraya
berkata, "Atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada
kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah" (QS. Al-Kahfi, 18: 39). Ini
adalah sebuah isyarat bahwa setiap saat ketika memasuki taman-taman mereka,
muncul dalam benak mereka: Allah lah yang menciptakan dan memelihara taman ini.
Sebaliknya, seseorang yang tidak berpikir mungkin takjub ketika pertama kali
melihat sebuah taman yang indah, tetapi kemudian taman tersebut menjadi sebuah
tempat yang biasa-biasa saja baginya. Kekagumannya atas keindahan tersebut telah
sirna. Sebagian orang sama sekali tidak menyadari nikmat tersebut dikarenakan
tidak berpikir. Mereka menganggap segala kenikmatan yang ada sebagai hal yang
"biasa" atau "lumrah" dan sebagai "sesuatu yang memang seharusnya sudah
demikian". Inilah yang menjadikan mereka tidak dapat merasakan kenikmatan dari
keindahan taman tersebut.
Kesimpulan: wajib atas manusia untuk menghilangkan
segala penyebab yang menghalangi mereka dari berpikir.
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, fakta bahwa kebanyakan
manusia tidak berpikir dan hidup dalam keadaan lalai dari kebenaran tidak
menjadi alasan bagi seseorang untuk tidak berpikir. Setiap manusia mempunyai
kebebasan terhadap dirinya sendiri, dan ia akan bertanggung jawab atas dirinya
sendiri di hadapan Allah. Mesti senantiasa diingat bahwa Allah menguji manusia
dalam hidupnya di dunia. Sikap orang-orang selain dirinya yang sering kali acuh,
tidak mau berpikir, bernalar ataupun memahami kebenaran adalah bagian dari ujian
untuknya. Seseorang yang berpikir dengan ikhlas tidak akan berkata,"Kebanyakan
manusia tidak berpikir, dan tidak menyadari akan hal ini, lalu mengapa saya
sendirian yang mesti berpikir?" Tetapi, ia akan menerima dan menjalani ujian
tersebut dengan memikirkan tentang kelalaian orang-orang terebut, dan memohon
perlindungan Allah agar tidak menjadikannya termasuk dalam golongan mereka.
Sudah jelas bahwa keadaan mereka bukanlah alasan baginya untuk tidak berpikir.
Dalam Al-Qur'an, Allah memberitakan di banyak ayat bahwa kebanyakan manusia
berada dalam kelalaian dan tidak beriman:
"Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun
kamu sangat menginginkannya." (QS. Yuusuf, 12: 103)
"Alif laam miim raa. Ini adalah ayat-ayat Al Kitab (Al Qur’an).
Dan Kitab yang diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu itu adalah benar: akan
tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya)." (QS. Ar-Ra’d, 13: 1)
"Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang
sungguh-sungguh: "Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". (Tidak
demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang
benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui," (QS.
An-Nahl, 16: 38)
"Dan sesungguhnya Kami telah mempergilirkan hujan itu diantara
manusia supaya mereka mengambil pelajaran (dari padanya); maka kebanyakan
manusia itu tidak mau kecuali mengingkari (ni'mat)." (QS. Al-Furqaan, 25:
50)
Di lain ayat, Allah menceritakan kesudahan dari mereka yang
tersesat akibat mengikuti kebanyakan manusia; dan tidak mematuhi perintah Allah
akibat melalaikan tujuan penciptaan mereka:
"Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: "Ya Tuhan kami,
keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan
yang telah kami kerjakan". Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa
yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak)
datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (adzab Kami) dan tidak
ada bagi orang-orang yang dzalim seorang penolongpun." (QS. Faathir, 35:37)
Berdasarkan dalil di atas, setiap manusia hendaknya membuang segala
sesuatu yang mencegah mereka dari berpikir untuk kemudian secara ikhlas dan
jujur memikirkan dengan seksama setiap ciptaan ataupun kejadian yang Allah
ciptakan, serta mengambil pelajaran dan peringatan dari apa yang ia
pikirkan.
Dalam bab berikutnya, kami akan menguraikan tentang berbagai hal
yang dapat dipikirkan dan direnungkan oleh manusia, yakni beberapa peristiwa dan
ciptaan Allah yang dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan kami adalah
untuk memberikan petunjuk tentang masalah ini kepada para pembaca agar mereka
mampu menjalani sisa hidupnya sebagai manusia yang "berpikir dan mengambil
peringatan dari apa yang mereka pikirkan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar