KESIMPULAN
Allah telah menjadikan Nabi Ibrahim a.s., Ishaq a.s., dan Ya'qub a.s. sebagai
suri teladan bagi mukmin sejati, sebagaimana firman-Nya,
"Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub
yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.
Sesungguhnya, Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada
mereka) akhlaq yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri
akhirat." (Shaad [38]: 45-46)
Allah juga menegaskan bahwa Nabi Musa a.s. telah mencapai tingkat kesucian
yang tinggi, sebagaimana dinyatakan dalam surah Maryam,
"Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah
Musa di dalam Al-Kitab (Al-Qur`an) ini. Sesungguhnya, ia adalah seorang yang
dipilih dan seorang rasul dan nabi." (Maryam [19]: 51)
Kita harus merenungkan dengan dalam ketinggian akhlaq nabi-nabi Allah dan
berjuang seperti mereka agar menjadi hamba-hamba-Nya yang suci.Al-Qur`an memberitahukan bahwa mereka yang buta dan tuli tidak akan mendapatkan keuntungan dari peringatan dan ayat-ayat Allah. Sebaliknya, mukmin sejati adalah, "Orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang buta dan tuli." (al-Furqaan [25]: 73) Mereka yang takut kepada Allah dan berlindung dari godaan setan, mampu merasakan kebijaksanaan ayat-ayat suci Al-Qur`an. Mereka menarik pelajaran dari ayat-ayat Allah tersebut. Dengan demikian, mereka dapat memperoleh keikhlasan. Karena itu, orang-orang beriman tidak akan pernah bisa mengabaikan peringatan Allah. Meskipun jika kemudian seseorang gagal memahami makna pentingnya keikhlasan, hanya dengan sesaat ia menghabiskan waktu untuk melihat niatnya, cukuplah itu untuk menyucikan dirinya. Dengan izin Allah, perbaikan tersebut akan mengubah amalan-amalan sebelumnya menjadi suatu amalan saleh dan dirinya dianugerahi kemulian sebagai "makhluk yang terbaik" dalam pandangan Allah.
Namun sebaliknya, jika seseorang menodai amalan-amalan yang telah dikerjakannya karena ridha Allah, dengan membiarkan ambisi duniawi mengacaukan dan merusak dirinya, dan dia tidak mengarahkan dirinya kepada keikhlasan, ia akan berperilaku tidak bermoral. Manusia seperti ini mungkin akan berusaha sepanjang siang dan malam untuk meyakinkan dirinya bahwa ia berada pada jalan yang lurus. Akan tetapi, ia tidak akan termasuk di antara orang-orang yang bertobat kepada Allah dan ia tidak berusaha untuk meraih keikhlasan. Dalam surah al-Kahfi, Allah memberikan perumpamaan bagi para pecundang yang demikian, dengan firman-Nya,
"Katakanlah, 'Apakah akan Kami beritahukan kepadamu
tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?' Yaitu orang-orang yang
telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka
bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (al-Kahfi [18]: 103-104)
Ketika ia menoleh ke belakang pada kehidupannya yang lalu, ia akan menyadari
bahwa tidak ada satu pun yang tersisa untuk menyatakan bahwa ia telah
menggunakan waktu bertahun-tahun lamanya hidup di dunia ini. Tidaklah
orang-orang yang keridhaannya ia perjuangkan, tidak juga tujuan duniawi yang
dikejarnya, dan tidak pula keangkuhan serta iblis yang menipunya untuk merusak
keikhlasannya, yang akan membelanya di akhirat. Ia akan berdiri sendiri di
hadapan Allah tanpa adanya pembelaan, karena ia gagal bertobat kepada Allah
dengan hati yang suci. Ia telah mengurangi keikhlasannya dengan mencampuradukkan
keyakinan, pengabdian, dan ibadahnya dengan kekotoran-kekotoran yang lain. Dalam
surah al-Hadiid, Allah menjelaskan bahwa kehidupan dunia adalah tiada arti
kecuali sebuah tipu daya yang besar,
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini
hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah
antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti
hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu
menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di
akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya.
Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (al- Hadiid
[57]: 20)
Apakah seseorang bersedia memahami bahwa ia telah berjuang dalam kesia-siaan,
dalam kedengkian atas usahanya yang besar, karena ia telah gagal memperoleh
keikhlasan, dan hidup tidak sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an? Atau apakah
seseorang ingin menjadi salah satu dari "makhluk-makhluk terbaik yang dirahmati,
yang tidak pernah gagal" dengan menyucikan niat, hati, dan batinnya serta
bertobat kepada Allah dengan pengorbanan sepenuh hati, memeluk Allah dengan
erat, dan tidak berkeinginan mendapatkan apa pun selain keridhaan Allah?
Jelaslah sudah bahwa bagi siapa pun yang cinta kepada Allah dan yang memiliki
harapan untuk menjadi sahabat-Nya, dan untuk bertobat kepada-Nya, maka pilihan
terakhir merupakan pilihan mutlak yang harus diambil.Karena itu, melalui buku ini, kami mengajak seluruh kaum mukminin yang ikhlas, yang mencintai Allah, yang berharap untuk menjadi sahabat-Nya, dan yang bertobat kembali kepada-Nya, agar mencari rahasia yang membimbing kita menjadi salah satu di antara orang-orang yang beruntung. Sebagaimana Badiuzzaman sebutkan, sebuah amalan yang dikerjakan dengan ikhlas mungkin akan menjadi lebih berharga daripada ribuan amalan yang dikerjakan tanpa keikhlasan. Agar selalu diingat, jika niatmu tulus ikhlas dan amalan-amalanmu merupakan amalan saleh hanya untuk Allah semata, meski amalan itu paling remeh sekalipun, hal itu akan diperhatikan oleh-Nya. Sebagaimana Allah jelaskan kepada kita di dalam Al-Qur`an dengan firman-Nya, "Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu...," (al-Israa` [17]: 25) dan "... Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertaqwa." (Ali Imran [3]: 115)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar