Jumat, 17 Februari 2012

Al-Qur'an Dihina Gus Dur page : 13


F. Mengukur Islam dan Kejawen cukup dengar nyanyian
Kutipan:
JIL: Kalau orang muslim tidak melaksanakan syariat Islam seperti salat atau ibadah wajib lain, diapakan, Gus?

Begini ya’ Saya sudah lama mengenalkan beberapa istilah penting dalam melihat persoalan keberagamaan dalam masyarakat kita. Golongan muslim yang taat pada masalah ritual, biasanya kita sebut golongan santri. Namun ada golongan lain yang kurang, bahkan tidak menjalankan ritual agama. Mereka ini biasanya disebut kaum abangan, atau penganut agama Kejawen. Lantas, kita mau menyebut golongan kedua ini kafir? Tidak benar itu!

Saya baru saja yakin bahwa Kejawen itu Islam. Baru setengah tahun ini. Saya baru yakin ketika mendengarkan lagu-lagunya Slamet Gundono (seorang dalang wayang suket kondang, Red). Saya baru paham betul; ooh, begitu toh Kejawen. Inti ajarannya sama saja dengan Islam.

Bedanya ada pada pelaksanaan ritual keagamaan. Kesimpulannya begini:
Kejawen dan Islam itu akidahnya sama, tapi syariatnya berbeda. Penganut Kejawen itu Islam juga, cuma bukan Islam santri. Gitu loh’ selesai, kan? Gitu aja repot. (Referensi: http://islamlib.com)


Komentar:

Mengukur Islam dan Kejawen cukup dengar nyanyian

Untuk mengukur Islam dan Kejawen (kebatinan, abangan), Gus Dur mencukupkan diri dengan mendengarkan lagu-lagunya Slamet Gundono (seorang dalang wayang suket kondang, Red). Lalu Gus Dur mengaku faham betul, bahkan membuat kesimpulan, dan masalahnya selesai.

‘Saya baru paham betul; ooh, begitu toh Kejawen. Inti ajarannya sama saja dengan Islam.

Bedanya ada pada pelaksanaan ritual keagamaan. Kesimpulannya begini:

Kejawen dan Islam itu akidahnya sama, tapi syariatnya berbeda. Penganut Kejawen itu Islam juga, cuma bukan Islam santri. Gitu loh’ selesai, kan? Gitu aja repot.’

Makna perkataan Gus Dur itu, Islam santri biarkan, Kejawen yang bukan Islam santri ya biarkan saja. Soalnya, pertanyaan JIL adalah: ‘Kalau orang muslim tidak melaksanakan syariat Islam seperti salat atau ibadah wajib lain, diapakan, Gus?’

Gus Dur ditanya tentang Muslim yang tidak salat dan semacamnya harus diapakan, jawab Gus Dur: ‘Penganut Kejawen itu Islam juga, cuma bukan Islam santri. Gitu loh’ selesai, kan? Gitu aja repot.’

Jawaban Gus Dur ini justru lebih mundur dibanding keputusan-keputusan ataupun anjuran-anjuran selama ini, bahwa aliran-aliran kebatinan, hendaknya kembali kepada agama induknya masing-masing. Artinya, perlu dibina agar sesuai dengan Islam, karena Kejawen itu tadi induk agamanya Islam. Kalau lantas disamakan kedudukannya, justru itu menyalahi kodrat. Ini masalah yang sangat prinsipil, tetapi diucapi, ‘gitu aja kok repot’; artinya menggampangkan persoalan yang prinsip. Tetapi di balik penggampangan itu, sejatinya Gus Dur telah bermain kata, untuk menempuh tujuannya, yaitu memberedel apa saja yang dia anggap berbau pemberlakuan syaria’t Islam secara formal. Dengan mendudukkan Kejawen sebagai sama dengan Islam, hanya bukan Islam santri, berarti Gus Dur telah melegalkan (secara ucapan) satu bentuk Islam yang tidak usah melaksanakan syari’at.

Itulah Gus Dur. Dia anti formalisasi syari’at, makanya menyebarkan faham formalisasi yang tak melaksanakan syari’at, yaitu Kejawen, dengan cara mengakuinya sama dengan Islam, hanya beda syari’atnya (yaitu tak melaksanakan syari’at Islam) dan tak berkomentar untuk diapakan.

Kalau rujukannya Kitab Allah swt, maka sebenarnya jawabannya sudah jelas. Di antaranya ayat:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ(125)
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS An-nahl/ : 125).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar